Secercah Kisah Perjalanan

Asap masih mengepul dari wajan penggorengan tempat lumpia basah yang aku pesan. Niat hati lumpia basah itu akan aku makan di bis saat perjalanan pulang, tapi aku urungkan. Aku turun di Jatinangor, beristirahat sejenak dari terik matahari yang mencabik-cabik epidermis kulitku. Menuju tempat yang damai dan sejuk. Mesjid Al-Jabar tempat yang tepat untuk memakan lumpia basah sekaligus mengisi ulang botol minum yang aku bawa dari kostan dengan air galon yang tersedia di selasar masjid. Air itu sangat membantu kerongkonganku agar tetap segar sampai rumah. Aku menikmati pemandangan yang disuguhi kala itu, sembari berkeliling di area masjid. Tak banyak orang di sana, bahkan mungkin bisa terhitung oleh sebelah jari tangan. kudapati beberapa akhwat ada yang sedang belajar mengaji bersama di lantai dua.

Telingaku hampir copot! Seakan-akan mendobrak bagian gendang telinga serta-merta si rumah siput. Lagu "All Good"-nya Dipha Barus yang aku gunakan sebagai alarm itu menjerit keras sekali persis di depan telingaku pada pukul empat pagi. Aku bahkan tidak sadar menyimpan handphone-ku di dekat telinga. Aku ingat, ada janji lari pagi jam enam dengan beberapa kawan SMA-ku. Tapi Waktu Indonesia Bagian Ngaret juga berlaku pada teman-temanku di Kota Tahu ini ternyata, alhasil kami baru menginjakkan kaki di Alun-alun pada pukul sembilan.

Jarum jam yang terus berputar membuatku harus berkemas dari Kota Kelahiran ini. Aku menaiki kendaraan beroda empat dengan tulisan "04" di depannya, yang melewati halaman rumahku. Penumpangnya penuh, sampai kami harus berdesakkan demi mendapatkan posisi duduk. Satu per satu turun, seiring berjalannya angkot dan waktu. Hanya tinggal aku serta dua pria lainnya di dalam angkot. Aku berencana untuk melanjutkan perjalanan dengan menaiki bis di Tanjungsari, namun nasib tidak ingin begitu. Kacamataku tidak membantu retina mata membentuk objek bis di tempat pemberhentiannya, karena memang tak ada. Maka aku segera menghubungi Salma, teman satu kepengurusan OSIS-ku kala SMP yang kini menempuh studi di Universitas Padjadjaran, karena aku berniat menyinggahi kostannya sebentar di Jatinangor, sekaligus ada keperluan dengan Teh Eva yang kostannya tak jauh dari situ.

Dari jendela angkot, terlihat mobil beruntun baris ke depan serta belakang; macet. Tak lama, aku mulai mengendus bau hujan. Benar saja, semesta mulai menangis, dan aku mulai mengeluh dalam hati. "Neng, rekepkeun jandelana", sahut seorang bapak berkemeja kotak-kotak biru dalam angkot, memintaku menutup jendela supaya air hujan tidak masuk. Bapak itu memulai percakapan dengan supir angkot, membahas perekonomian Indonesia saat ini, hingga topiknya menjurus pada inti yang seakan mengatakan tidak puas dengan kepemerintahan presiden yang sedang menjabat sekarang secara tersirat.

Sepanjang jalan mulai bertebaran poster-poster besar yang gambarnya bak pahlawan, menebar janji, melindungi, tapi semoga itu menjadi bukti. "...Aku cari pemimpin yang naiknya bis kota. Aku cari pemimpin yang hidupnya sederhana. Bukan cari pemimpin yang lupakan janjinya. Apakah ada pemimpin yang seperti kami idam-idamkan?". Tiba-tiba lagu karya Iksan Skuter itu memutar di kepalaku.

Sorot mataku masih menyapu berbagai hal dari balik kaca berbahan dasar feldspar. Aku melihat sebuah mesjid berwarna putih berdiri kokoh bertulisan "Masjid Jami Al-Azwia". Memoriku kembali bermain peran untuk mengingat saat aku dan beberapa rekan panitia angkatan SMA-ku singgah di situ tempo tahun. Lucunya, di dalam terdapat kolam berisi beberapa ikan, tepat di barisan paling depan.

Lalu perhatianku teralih pada tulisan "Bakso Beranak". Aku bertanya-tanya dan merasa geli, bagaimana bakso bereproduksi? Ah, bagian ini tak usah dibahas, biarlah menjadi rahasia Mas baksonya.

Baterai handphone-ku hampir habis. Macet. Hujan. Panik. Bagaimana aku mengabari Salma jika baterainya habis total. Aku tidak tau di mana kostannya secara pasti.
"Ayeuna di mana?" Tanya Salma.
Kepalaku mendongak untuk mecari-cari jawaban, "Beverly Park, 600 meter", aku hanya mengatakan apa yang aku lihat, karena tak tau nama daerahnya.
"Heeh deket da, urang tunggu depan we gerbang nya", Salma membalas.
"Ayeuna di mana?", kemudian ia bertanya lagi, karena aku tak kunjung sampai.
"Kela", "Skyland City", balasku, untuk membuktikan bahwa angkot yang aku tumpangi ini dapat maju.

Setelah satu jam waktu tempuh Tanjungsari-Jatinangor, akhirnya kami bersua di depan Puskesmas Jatinangor, dan masuk ke dalam kostnya. Aku bertemu Allya di sana, teman satu MDA-ku tempo dulu, tapi tak sempat berbincang. Kami, aku dan Salma saling bercerita tentang kehidupan perkuliahan dengan diselingi guyonan untuk mengulur waktu.  Hingga aku teringat mata kuliah Bahasa Arab II jam 7.25 besok yang menendangku dari Jatinangor, aku harus pulang. Aku hendak berjalan sampai Jatinangor Town Square untuk menaiki angkot berwarna hijau, tapi terhenti sampai di depan Kantor Kecamatan Jatinangor karena otot-otot syarafku yang mulai bergetar karena membawa tas jinjing. Tanganku ini terkadang memang lemah dalam hal angkut-mengangkut, entah mungkin ada yang salah dengan bagian dendrit, akson ataupun yang lainnya.

Sampai di Cibiru, diafragmaku memberi rangsang ingin diisi. Tapi, mahasiswi baru semester dua ini masih kesulitan untuk menyebrangi jalan untuk menuju jalan Manisi. "Kenapa sih orang-orang pada lari-lari bawa kendaraannya", aku mengeluh, jauh di dalam hati. Matahari yang sudah tergantikan bulan semakin membuat tingkat kesulitan menyebrangku tinggi. Aku takut. Tapi rasa takut itu kalah dengan rasa lapar, aku berhasil menyebrang.

Aku putarkan ekor kunci pada lubang di pintu kamar kost, dengan maksud untuk membukanya. Aku menarik napas panjang, meregangkan otot-otot badan, dan mengerjakan tugasku sebagai sekretaris yang dengan manis telah menyambut kehadiranku di Bandung.

Komentar

Postingan Populer