Solo Trip ke Solo: Wisata, Kuliner, dan Refleksi Diri
Perjalanan selalu menjadi hal yang mengasyikkan. Termasuk salah satu yang akan aku ceritakan ini. Sudah lewat kurang lebih lima bulan sejak Mei, maklum, penulisnya lupa kalau dia punya blog.
__________________________________
Detak
jantungku menggebu tatkala melenggangkan kaki di Stasiun Kiaracondong, Bandung.
Tampaknya, perjalanan ini bakal menjadi pelanconganku yang jaraknya paling
jauh, setidaknya untuk ukuran solo trip anak bungsu yang (dulu) dicap
manja di keluarga. Tanggal 30 April 2024, matahari
sudah ditelan malam sejak empat jam yang lalu. Sebentar lagi keretaku
berangkat, pukul 22.00 WIB. Sebelum memasuki gate pemeriksaan, kuhampiri
mesin pencetak tiket yang berjajar tidak jauh dari kursi-kursi panjang tempat
orang menunggu. Aku sudah memesan via daring jauh-jauh hari melalui aplikasi
KAI Access, karena kalau enggak begitu, bisa-bisa kehabisan tiket. Mesin
pencetak memuntahkan satu carik tiket, gak lama setelah aku memasukkan nama dan
kode.
Hanya perlu
tiket dan kartu identitas, maka petugas akan mempersilahkanku lolos gerbang
pemeriksaan. Koper berwarna ungu pastel yang super berat, digeret melintasi
lorong oleh seorang gadis yang sebenarnya tangannya memble bin lemah. Belum,
tidak langsung masuk kereta, aku melakukan ritual cewek Gen Z jaman sekarang: fit
check. Handphone ditaruh di beton lorong, cukup tinggi, asalkan
kameranya sejajar dengan badanku. Melenggak-lenggok ke arah layar yang sedang
merekam; sambil menggendong ransel dan menenteng koper, hingga tanpa sadar
lorong terasa sepi. Aku segera menghentikan ritual kurang jelas itu dan
setengah berlari memasuki kereta. Huft. Aman.
Lembayung
malu-malu mulai mengintip dari balik jendela kereta, sepertinya sudah memasuki
Jawa Tengah. Apapun yang disuguhi oleh kaca jendela kereta, selalu aku nikmati
sampai kenyang. Rumah-rumah pemukiman warga, pohon-pohon, hamparan sawah,
hingga jalanan yang telihat macet ditutup palang, karena kereta api sedang
lewat. Sebentar lagi aku sampai di Surakarta tatkala muncul WhatsApp dari Om
Ade,
“De, sudah
sampai mana?”
“Sebentar
lagi nyampe, Om”
“Om gak
bisa jemput ke stasiun ya, lagi sibuk, Dede naik grab aja gak apa-apa?”
“Aman, Om.”
Baru pukul
tujuh pagi saat aku menginjakkan kaki di Stasiun Purwosari, Surakarta (Solo),
tapi udaranya sudah cukup hangat untuk ukuran pagi-paginya orang Sumedang.
Senyum sumringah dari balik masker, karena terkesima akhirnya aku ke Solo lagi!
Setelah terakhir, Desember tahun lalu, dan itu bukan solo trip. Ini juga pertama
kalinya aku ke Stasiun Purwosari, interiornya tak se-modern Solo Balapan, tapi
tetap istimewa di mataku (anjay).
Taksi online
mengantar ke suatu alamat di Jalan Adisucipto. Oh ya, pertama kalinya aku dapat
driver perempuan. Aku pernah ke sini sebelumnya, jadi cukup familiar untuk
mengetahui harus berhenti di rumah yang mana. Walaupun, kalau-kalau ditanya,
“Lewat mana ya, mbak?” aku pasti menjawab, “Aduh.. Kurang tau, saya bukan orang
sini”. Pagi itu Solo masih terasa lengang, sepi, dan jauh dari hiruk-pikuk.
Apakah karena ini weekday? Tapi, bukannya kalau weekday harusnya
jalanan lebih padat di pagi hari karena orang-orang berangkat kerja? Atau
karena “diri” ini yang sudah terbiasa hidup di Ibukota setahun belakangan? Yang
jelas, sangat beda kalau mau dibandingkan dengan Jakarta, di sini sangat slow
living. Koper super berat tadi diturunkan dari bagasi mobil, lantas aku
melangkah menuju pintu depan, “Assalamu’alaikum..”
Ada satu
lagu Maliq & D’Essentials yang istimewa, baik judul maupun liriknya:
Setapak Sriwedari. Lantas sore hari di tanggal 1 Mei, aku pergi ke Bakso Daging
Sapi Pak Saino yang letaknya seberang Taman Sriwedari. Belum, aku belum ke
tamannya, hari ini makan bakso saja dulu. Bakso ini hasil rekomendasi Om dan
Tanteku, katanya bakso paling enak yang mereka temuin di Solo!
Langit
hampir gelap, waktunya aku pulang. Di rumah dinasnya Om, ada banyak banget
kucing, mungkin sekitar 30? Atau lebih? Hari pertama aku di Solo, kucing-kucing
itu masih pada ketakutan karena aku orang asing. Setiap aku muncul, mereka
langsung terbirit-birit seolah lihat kunti.
Waktu jam
makan malam, aku diajak Om & Tante makan di luar, belum tahu tujuannya ke
mana, keluar aja dulu muter-muter.
“Dede mau
makan apa?”
“Suka seafood
gak, de? Di sini ada enak”
“Yah.. yang
enak tutup, de. Coba aja itu kali ya yang depan, Om sama Tante juga belum coba,
sih,”
Sampai akhirnya, kami berhenti di Pak Petruk Seafood di Jalan Gajahmada.
Tanggal 2 Mei
di pagi hari, aku pesan ojek online menuju Taman Balekambang.
Sebelumnya, aku sudah cek di Google Maps, dan dalam hati, “Wah bagus ini buat
difoto-fotoin, pemandangannya bagus banget!” Semangat menggebu selama di
perjalanan, ditambah driver yang super informatif! Seolah tour guide,
dia dengan sumringah ngasih rekomendasi ini dan itu, menjelaskan setiap tempat
yang dia rekomendasiin. Sampai di Taman Balekambang, akhirnya yang didapat:
Zonk. Gerbang masuk atau apapun itu sama sekali tidak nampak, yang ada hanya
pagar seng proyek. Karena bingung, akhirnya driver-ku ngobrol sama warga
di situ, yang tentunya kurang bisa aku pahami karena Bahasa Jawa. Setelah
bincang-bincang singkat itu, mas driver-nya ngejelasin, kalau Taman
Balekambang ini lagi direnovasi sampai beberapa bulan ke depan. Daripada sedih
dan kecewa, aku lebih bingung karena belum ada plan B. Mau turun di situ,
masa iya? Tiba-tiba sepersekian detik terlintas lagi: Taman Sriwedari. Langsung
tanpa babibu aku minta diantar ke sana.
Kerudung pashmina
hitam berbahan cotton scarf, kaos hijau lime dibalut jaket jeans crop,
celana kulot hitam, sepatu boots hitam, kacamata hitam dari Mr. DIY, ditambah
totebag putih bergambar lukisan berbahan kanvas; kado ulang tahun dari
Intan yang super skena, adalah penampilanku hari itu. Seperti hari normal
biasanya di Solo, hari itu panasnya menyengat. Aku yang sebenarnya kebingungan
dan gak-tau-mau-kemana ini berlagak so iye paling tahu wilayah, masuk ke
gerbang Taman Sriwedari. Di sana hanya ada hamparan lahan tanah berumput hijau
tipis, dan OH! Ada banyak rusa dan angsa dibiarkan berkeliaran. Aku terus jalan
lurus menjajal seluruh area Taman Sriwedari, lalu mengintip Gedung Wayang Orang
Sriwedari. Tentu, aku enggak masuk untuk nonton wayang hari itu, karena,
jadwalnya pun hanya ada malam. Mengandalkan kamera DSLR, handphone dan
tripod, aku mendokumentasikan apa-apa saja yang aku lihat di situ. Aku foto dan
bikin video bersama rusa-rusa, seru!
Matahari
sudah makin menyembul di atas kepala, akhirnya aku pergi dari Taman Sriwedari.
Lapar. Tapi bingung makan apa dan kemana, ya? Teringat beberapa rekomendasi mal
dari mas-mas driver tadi, aku memutuskan ke Solo Square di Jalan Slamet
Riyadi. Driver kedua ini gak kalah asik! Cukup banyak hal yang dia
ceritain seputar Solo dan rekomendasi ala dia, “Mbaknya udah coba makan selat solo
di Tenda Biru, belum? Itu enak, mbak, nanti wajib dicoba, ya!”
Turun di
depan Solo Square, lagi-lagi seperti biasa: aku belum punya tujuan mau kemana.
Kaki terus jalan masuk ke dalam mal, sampai aku lihat tulisan RamenYa! Wih
menarik, nih. Tapi kalau kata Ami, “Rin, jauh-jauh ke Solo makannya tetep
RamenYa! Rugi ah”.
Dzuhur aku
sudah di rumah, istirahat, napas sebentar, scrolling sosmed sampai
matahari enggak terlalu terik, deh. Lalu sore harinya aku pinjam sepeda Om,
buat gowes ke Stadion Manahan, yang jaraknya mungkin cuma sekitar 1-2 km.
Bermodal Google Maps, sampai juga di Stadion Manahan. Sepedanya aku parkir di
tempat parkir motor. Entah apa yang bikin aku se-pede itu untuk parkirin
sepeda yang tanpa gembok di area terbuka. Satu hal yang di pikiranku, “Gak
bakal ada yang nyolong kali ya ah, orang Solo semoga baik-baik aamiin.” Lalu
aku lanjut lari di stadion. Berhubung aku enggak bawa sepatu olahraga atau sneakers
apapun, hari itu aku lari pakai Crocs, hahahah. Hanya sekitar 4 km aku lari,
tapi jiwa kepedean ini selama lari seolah orang merhatiin aku, dan bikin narasi
sendiri di kepala, “Orang-orang pasti ngecap aku aneh deh.. Aduh ada yang
ngomongin ga ya,” Tapi yowes lah, gak bakal ketemu lagi ini. Sewaktu mau
pulang, aku kebingungan tadi parkir sepeda di mana. Harusnya aku sadar kalau
aku kadang lupa arah/jalan kalau di tempat asing, harusnya aku naro titik parkirnya
di Maps. Lumayan lama muter-muter Stadion Manahan hanya untuk nyari parkiran
itu, sampai akhirnya ketemu! (bangga). Aku pulang. Malamnya, aku dibawa Om
& Tante makan lesehan pinggir jalan, namanya Ayam Kremes Rizki: Penyet dan
Bakar. Enak banget! Tapi sewaktu aku cek, tempat makannya enggak terdaftar di
Google Maps. Pulang makan, melipir ke Balai Benih Ikan Balekambang untuk beli
makanan para kucing yang puluhan itu, lalu aku bilang ke Om & Tante, “Nah,
tadi pagi Dede ke sini nih yang kata tutup itu,”
“Makanya
cek dulu di Google Maps buka atau tutup tempatnya,” ledek Om sambil ketawa.
Tanggal 3 Mei, mulai bingung mau kemana lagi. Akupun enggak punya teman Solo yang bisa dimintain rekomendasi tempat. Untungnya, Mbak Elsya, rekan waktu kerja di Bisnis ngasih beberapa rekomendasi, karena dulu dia kuliah di UNS. Salah satu rekomendasinya yakni TFP Kopi Warung di Pasar Gedhe. Sebelum berangkat, aku foto outfit yang bakal aku pakai untuk main dan dikirim via WhatsApp ke beberapa temanku untuk minta saran, mendingan yang mana, ya? Seperti hari-hari sebelumnya, aku naik ojek online ke Pasar Gedhe. Sebenarnya, aku super bahagia bisa kemana-mana sendiri, tapi di sisi lain sedih, karena outfit yang udah kece paripurna ini percuma, gak ada yang bisa fotoin. Aku sempat agak nyasar waktu nyari Lokasi TFP Kopi Warung ini, tapi akhirnya ketemu! Beres makan, lagi-lagi bingung mau kemana, lagi-lagi nanya ke Mbak Elsya. Tujuan akhir hari itu, aku ke Balaikota Surakarta mau ngantemi Gibran a.k.a Walkot Solo.. Eh enggak maksudnya mau main ke Balaikota, foto-foto, dan ke masjidnya, terus pulang.
Hari-hari besok dan seterusnya aku sudah pindah kota dan provinsi, enggak di Solo dan enggak solotrip lagi. Halo, Jawa Timur!
__________________________________
Ini beberapa hasil foto yang aku tangkap, sudi untuk mampir? https://www.instagram.com/p/C6dX1xJrOuY/?igsh=MTN1cGl0YmdkY21kbA==
Komentar
Posting Komentar