Sepulang dari Kota Nanas
Ini pukul 22.54, tak lama dari sesampainya di kamar kost, ku tekan tuts laptop dan mulai memutar beberapa lagu Fiersa Besari dalam aplikasi Spotify-ku, sekedar untuk mengiringi pikiran yang akan digunakan untuk memutar kilas balik apa-apa saja yang terjadi tadi. Hujan datang bergerombol, deras, saat aku baru saja akan menaiki kendaraan umum jurusan Bandung. Ah.. sudah tiba waktunya shalat maghrib. Menyembul sebuah tower mesjid di antara dedaunan pohon di sebrang sana. Usai ku tunaikan kewajiban, ku pakai sepatu. Ternyata hujan semakin marah, bahkan ia ditemani petir.
Terbesit dalam pikiran untuk kembali ke rumah teman mama. "Baiklah, ayo." bisikku dalam pikiran. Baru saja beberapa langkah dari masjid tempat aku berteduh tadi, terlihat mobil elf jurusan Ledeng di sebrang jalan. Aku naiki mobil itu, dan segera mengabari tuan rumah yang tadinya akan dipakai untuk bermalam via LINE; Rangga namanya. Ada beberapa penumpang lain di dalamnya, yang aku tidak tau mereka dari mana, pun ingin ke mana. Karena aku tidak bertanya, dan rasanya tidak perlu. Aku putar playlist di handphone, yang sudah bertahun-tahun tidak pernah lagi aku tambah, dengan earphone tosca yang dikaitkan di telinga. Sepanjang jalan terasa tenang, damai, dan juga dingin. Hujan masih terus marah. Akhirnya, mobil yang aku tumpangi selama kurang lebih dua jam ini berhenti di Ledeng.
Hujan masih belum mau berbaikan, maka ku tembus dia, untuk menumpangi mobil selanjutnya. Belum ada penumpang lain saat aku duduk di sebelah kiri kursi panjang khas kendaraan yang disebut angkot itu. Tak lama, datang pria paruh baya berkaus merah dengan sebatang rokok di tangannya, yang terus ia hembus-hembuskan. Sial, aku pusing. Dia duduk di kursi paling belakang sebelah kanan, hingga akhirnya dia pindah ke kursi yang aku tempati. Refleks aku bergeser. Sial lagi, cardigan-ku terduduki. Aku tarik perlahan, yap! Lepas. Aku duduk mundur menjauh. Lama-lama pria itu mencurigakan. Ia memandangi dua orang penumpang yang baru saja naik. Memadanginya sangat dalam. Oh lihat! apa yang dia pegang. Buram, kacamataku baru saja dilepas karena hujan. Rasa penasaran dan cemas membuatku memakainya kembali. Sesuatu yang terbuat dari besi. Ia masih mencurigakan, terus menatapi ibu-ibu yang asyik berbincang. Aku tendang tangannya yang ia pakai untuk menggenggam, sehingga alat besi itu lepas, lalu aku tendang badannya hingga terjatuh dari angkot.
Sayang, itu baru dalam pikiranku. Masih aku perhatikan, apa yang ia pegang. Oh, paku. Aku tidak tau apa yang akan dia perbuat. Baik, aku sangat siap jika harus menendang. Tapi tunggu, dia bernyanyi. Oh, ngamen. Paku itu ternyata ia tambah dengan tutup minuman bersoda supaya dapat menghasilkan bunyi. Tak ada yang memberinya sepeserpun rupiah. Dua orang yang berbincang tadi turun, tergantikan seorang nenek berwajah China dengan kulit yang masih kencang, sebelumnya aku mengira dia pria muda. Rambut pinggirnya dipangkas, namun bagian tengah belakang dibiarkan panjang terurai. Ah, aku tidak mengerti gayanya. Suatu aroma mulai tercium, seperti keringat. Nenek bermata empat itu menggunakan jaket bomber, topi dan earphone hitam dengan bentuk yang minimalis. Mungkin dia baru latihan, entah latihan apa, yang jelas itu menghasilkan keringat.
Pria berkaus merah masih di sana. Dia memandangi nenek dengan frekuensi yang bisa dibilang sering. Sepertinya nenek risih, atau mungkin sudah sampai tujuan. Karena tak lama dari itu, nenek mengeluarkan dompet coklatnya, dengan sejumlah bilangan rupiah. Dia turun. Tersisa aku, pria berkaus merah, supir angkot dan teman perempuannya yang duduk di kursi sebelah supir. Angkot hijau yang kami tumpangi berhenti, tanda sudah sampai di tujuan, Cicaheum. Si pria berkaus merah berlari terbirit-birit, membuat pak supir dan temannya itu berteriak kurang lebih begini, "Heh sia teu mayar, goblog!". Artinya, dia tidak membayar.
Aku menunggu angkot selanjutnya, jurusan Cileunyi. Dan ternyata, hujan sudah reda. Di angkot terakhir ini, ada beberapa penumpang, dari pria gendut yang sibuk memainkan handphone, sekilas tak sengaja terlihat, dia sedang ditunggu lawan bicaranya di WhatsApp itu, mungkin sedang ada masalah, aku hanya bisa menduga, karena tidak mau bertanya, dan itu sangat tidak perlu. Hingga pria yang terlihat parasnya mirip Fiersa Besari, walau sekilas. Ayolah, mungkin mataku sudah semakin error. "Kiri", aku berhentikan mobil di Bunderan Cibiru, untuk kemudian jalan ke atas, menyusuri Jalan Manisi. Sepi.
Komentar
Posting Komentar