Perayaan Mati Rasa

Pernah ada yang berjuang sebegitunya meluluhkan aku yang batu. Pernah ada yang tutur katanya seolah hanya akulah satu-satunya di seantero alam raya. Pernah ada yang sorot mata dan senyumnya tak pernah gagal membiaskan rona di wajahku. Pernah ada.

Kasih bentuknya macam-macam. Ada yang berbentuk puluhan surat yang selalu layak untuk dikenang, ada yang bentuknya menempuh 200 km menghalau deru macet perkotaan demi melihat bahagia, atau sekadar menonton drakor kesukaanku; biar ada bahan obrolan. 

Mungkin tak ada yang tahu, bagaimana aku begitu memaknai hal-hal kecil, bagaimana aku menghargai sambungan telepon di tengah lelah dan sibuknya rutinitas, atau kemudian tatap mata yang memberikan percikan kecil semangat yang sedang padam, hilang. Mungkin nanti akan ada yang mengerti, sebelum pagi dan secangkir kopi.

Kendati seberapa besarpun skala antisipasi, nyatanya aku tak pernah siap untuk patah. Patah hati selalu patut dirayakan. Takut. Kehilangan adalah takut. Terlupakan adalah takut. Ditinggalkan, juga takut. Pikiran dan batinku selalu digerogoti rasa kurang dalam diri. All I wanted is just to be enough, but as it turned out I'm not enough. Apa mungkin aku aneh? Apa mungkin aku menyebalkan? Apa mungkin, memang "rasa" mudah hilang jika dititipkan padaku? 

Nyatanya, kendatipun aku adalah es krim stroberi terbaik, semua akan sia-sia jika ternyata yang diinginkan adalah es krim vanila. 

Aku berharga, aku layak. Tidak mudah memuji diri sendiri di saat masih berjuang untuk berhenti membenci dan menyalahkan diri atas banyak hal yang terjadi. Dengan keyakinan yang masih berusaha digenggam erat-erat bahwa akan ada waktu di mana aku akan memeluk diri ini seutuhnya. Menyayanginya dengan ikhlas, menuang hal-hal baik dan merawat pikiran-perasaan dengan sabar. Percayalah, kamu tidak butuh menjelaskan dirimu kepada seisi dunia.

Bertahun-tahun silam, sejak kali terakhir aku temukan rumahku mengigil hingga ke sudut-sudut sepi. Masih terus coba untuk menenangkan, mencari-cari yang masih bisa dihabiskan, bertanya-tanya, "Di mana dia?". Sementara angin dingin rumahku berdesir pilu, membunyi, "Sudah bukan di sini dia bersemayam".

Takut yang tak kunjung reda. Kukira aku yang paling segala di atas susah dan sulit. Kulupa, ada hal-hal kecil yang patut disyukuri di derasnya kacau. Ada kawan-kawan mengirim pesan bertanya dan bertukar kabar. Ada Ibu yang selalu mengiringi tiap langkah ini dengan do'a. Dan, selalu ada Dia yang menyertai denyut nadi ini. Aku tidak sendiri.

Atas rasa sakit yang pernah aku terima, tidak lantas bikin aku membenci siapapun. Tapi kadang, aku kewalahan untuk semakin membatasi diri, hingga benteng terlalu mencuat tinggi. Dalih pertemanan selalu menjadi alasan paling utama, sekaligus hal yang membuatku menyamaratakan tindakan pada siapapun. 

Mungkin, akan (atau sedang) sedikit sukar ke depannya untuk merasa baik-baik saja setelah melalui semua badai gemas ini. Tapi, seorang teman pernah berpesan, semoga lantas kelak aku tak menganggap semuanya sama.

Komentar

  1. ayo kak banyakin lagi nulis nya

    BalasHapus
  2. lanjut teh, gua nikmatin parah tulisan lu ngahahahahaha :3

    BalasHapus
  3. pasti ada yang memang menyukai eskrim stroberi DAN LAYAKKK dapetin betapa harganya rasa itu!!

    BalasHapus
  4. Sedang aku siapkan beberapa granat untuk merobohkan bentengmu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer