Teladan Tumpuan pada Iman dan Keyakinan


Aku bukan seorang yang taat agama. Belum. Setidaknya untuk saat ini.

_______________________________

Usiaku tujuh belas saat mengenyam mata pelajaran Biologi di bangku SMA. Sehelai kain berwarna putih yang dilipat menjadi segitiga menutupi kepalaku setiap hari Senin-Kamis. Kalau Jumat, warnanya coklat. Biasanya, gaya berkerudungku ditarik sampai jidat dan poninya pun menyembul. Gak heran namanya jipon alias jilbab poni. Penggunaan jilbab jadi hilang makna karena tidak memenuhi fungsinya untuk menutupi aurat. Enggan pakai ciput, kala itu, karena dirasa kolot. 

Namanya Bu Eres, tenaga pengajar Biologi. Di kelas, beliau menerapkan konsep siapa-siapa paling cepat (dan tepat) mengumpulkan tugas, dapat nilai besar. Contohnya, lima orang pertama yang mengumpulkan tugas mendapat nilai 100, lima orang berikutnya 95, dan seterusnya. Cara itu berhasil membuat kami [para siswa] saling berlomba untuk menjadi yang tercepat, demi imbalan nilai tersebut.

Satu hari saat waktu salat ashar di musala rumahku, Kebonkol, enin sudah stand by bahkan sebelum adzan berkumandang. Biasanya ia bersimpuh di atas sajadahnya, sudah lengkap mengenakan perangkat salat sambil memandang jauh ke luar jendela, menunggu adzan. Sinar mentari sore sedikit-banyaknya menembus kaca, menyapu lembut wajah enin yang sudah tak mulus lagi.

Ada satu hal yang selalu beliau lontarkan setiap kali aku baru melangkahkan kaki di ruang beribadah itu. Sambil melirik dengan menunjukkan wajah sumringahnya, wanita berusia kepala enam itu mengatakan, "Nah gitu dong pinter cucu enin tepat waktu, dapet nilai A dari Pangeran (Allah)." Tangan kanannya mengacungkan jempol, menambah kesan bangga. Senyuman dan wajah ceria itu biasanya bertahan lama, hangat. 

Ucapan enin membekas nan tertanam. Membawaku mundur ke saat berada di dimensi mata pelajaran Biologi tempo hari. Sambil melamun, aku membayangkan kalau konsep pemberian nilai dari Bu Eres itu selaras dengan apa-apa yang enin sampaikan, "Oh.. berarti kalau sholatnya on time terus, nanti dapet nilai A++ terus dari Allah!" kurang lebih begitu seruanku dalam hati.

Masuk akal. Bahkan jika disandingkan dengan ilmu agama yang kerap kali mama sampaikan, "Sholat jangan ditelat-telat nanti masuk Neraka Wail!" perumpamaan itu semakin logis.

الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,"

Neraka Wail adalah neraka yang telah dipersiapkan oleh Allah bagi mereka yang suka lalai dalam salatnya. Lalai diartikan terlalu terlena oleh bujuk rayu duniawi sehingga lupa akan panggilan salat.

Untaian kata ini ditulis bukan dimaksudkan untuk berlagak besar cakap. Karena, untuk apa aku mengurusi neraka orang lain kalau surga pun belum tentu untukku?

_______________________________________________

Pertengahan 2021 silam, enin dipanggil Yang Maha Kuasa setelah sakit beberap hari akibat terkena Covid-19.

potret aku dan enin


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer