Multidimensi Album di Bulan November

Well.. it's been a while.

Januari 2022, angin malam di Kota Tahu ini menemaniku memutar kilas balik apa-apa saja yang terjadi di bulan November lalu. Sebagai pemanis, tulisan ini akan dibuka dengan untaian kalimat imajinatif:

Di dunia yang tak pernah berjeda ini, aku terus belajar menjadi bijaksana setiap harinya. Memilih mana yang pantas, tidak sepatutnya, dan yang terpenting selalu berusaha untuk tidak menyakiti hati siapapun, makhluk hidup lainnya, serta sesuatu apapun yang bernyawa.
Karena ku sadar, bumiku tidak berputar hanya untuk aku. Aku bersyukur bisa dititipkan Tuhan Mahabaik di antara manusia-manusia yang hangat dan penuh cinta. Tempatku memahami, mengerti dan menghargai apapun yang terjadi di semesta kita.
Siapapun dan di manapun kamu, jadi baiklah di bumi yang sudah terlalu banyak polusi. Semoga selalu dikelilingi hal-hal baik, kesehatan sepanjang usia!

_________________________________

Bagi kami yang tidak memiliki "rumah", merantau sejauh mungkin adalah cara terbaik untuk tetap waras.

Bandung
Empat tahun lalu aku berada di ruang kelas sambil bergelut dengan segala rupa rumus ilmu eksak, siapa sangka di tahun-tahun berikutnya Bandung mampu menjadi rumah kedua. Dan lagi, tentu, manusia-manusia di dalamnya sedikit banyak telah berkontribusi menyumbang memori untuk dikenang. Empat tahun yang ajaib. Banyak sekali bahagia, dan tak sedikit lukanya. Ada yang pernah utuh lalu hancur, dan tekad yang terus menyatukan keping-kepingnya.

Ragam sifat dan etnis yang dimiliki teman-temanku tidak menjadi penghalang bagi kami untuk saling mengisi keseharian. Dinda yang selalu mampu memposisikan diri menjadi pengacau atau penasihat, tak pernah lepas dari tontonan apapun (re: running man atau drakor), sesibuk apapun harinya. Intan dengan tingkahnya yang selalu konyol 24/7 tanpa kehabisan daya, selalu berhasil melingkarkan senyum di bibirku. Karin manusia loyal dan pendengar setia since day one, menjadi manusia satu-satunya yang selalu mengajak bertukar kado ulang tahun dengan budget Rp10.000,- (walau kadang lebih). Pun Nanat yang memiliki skill nokturnal sekaligus dibarengi kegiatan-kegiatannya yang tak ada habisnya, selalu menemani virtual untuk sekadar masak Indomie di tengah malam. Mereka segelintir orang bernama bahagia, tidak sesederhana mengucapkannya, tapi lebih dalam, lebih hangat.

Suatu malam aku ditemani Anput menyusuri jalan tanpa tujuan, tanpa arah. Motor terus melaju sampai kami menentukan pemberhentian di Kue Balok Kang Didin, dekat Bandara Husen Sastranegara. Tempatnya ramai dan pengap, setiap bangku terisi bermacam gerombolan anak muda. Para pengamen hilir-mudik membawakan lagu-lagu andalannya, dari berbagai sudut para pemuda-pemudi menghembuskan kepulan asap dari mulutnya sambil bercanda-tawa. Sedang aku termenung sambil memegang dahu, sambil mendengar segala macam cerita Anput, yang aku mengerti, dia tidak butuh respons dariku, itu adalah sedikit upayanya untuk menghibur. Tangannya sibuk memotong kue balok yang ada di hadapannya, sambil tak henti mengajakku berbincang agar tak melamun.

Usai ia melahap habis kue baloknya, kami kembali melanjutkan perjalanan tanpa arah. Pandanganku kosong. Di perjalanan, Anput tetap tak henti bercerita dengan sesekali memanggil namaku untuk memastikan kalau aku masih hidup. Udara Bandung membelai lembut wajahku yang dibiarkan tak tertutup masker. Aku tarik napas panjang, lalu berteriak.

Satu hari setelah hiruk pikuknya rutinitas, bolehlah aku menangis sekali, untuk bahagianya sepasang sejoli di taman-taman, untuk roti seorang ayah yang habis sebelum gelap, untuk curahan hati para teman yang tumpah ruah di atasku. Satu hari, izinkan aku menangis, walau bukan untuk diriku.

Garut
Rencana akhirnya tidak hanya menjadi sebuah rencana. Perjalananku bersama teman-teman KKN menuju Pantai Santolo hasil berdiskusi dari tempo bulan akhirnya berbuah hasil, manis. Pelancongan kami dimulai dari saat dini hari, tancap gas. Rasa kantuk karena terjaga semalaman dan angin malam yang dingin tidak menyurutkan rasa excited-ku melihat pantai. Istirahat kami yang pertama yakni di suatu jalan yang entah namanya, hanya saja puluhan mangga terpajang untuk dijual. Wili, Hadi, Dani, silih berganti memanggil-manggil si penjual yang tertidur pulas dengan headset menancap di telinganya.
"A, punten a"
"Ayah mau mangga"
"Ambil aja ambil" lalu Dani memasukkan sebuah mangga ke dalam kresek,
"Eh itu mah maling namanya"
Tawa pecah secara bersamaan dari kami semua.
Sampai kami hendak kembali melanjutkan perjalanan, nada bicara yang sangat keras dan kegaduhan yang kami buat untuk membuat Aa penjaga warung itu bangun sangat nihil.

Azan berkumandang pada pukul empat, mendandakan kami harus melipir sejenak untuk menunaikan kewajiban. Dari luar masjid terlihat dua gunung menyembul dari arah berlawanan. Kami berdebat, manakah yang Gunung Cikuray dan yang mana Gunung Papandayan. Tak lama, motor kami kembali melaju sampai tak terasa matahari mulai naik perlahan. Bian dan aku sibuk mendokumentasikan perjalanan, sedangkan Delvi ku lihat mulai mengantuk. Sesekali saat motor Rafly-Delvi berdampingan dengan Dani-Darin, aku ajak dia bergurau.

Udara pagi yang masih segar tidak pernah gagal menyejukkan pernapasan, ku buka masker dan menikmati udara pedesaan yang masih bersih itu, sambil disuguhi pemandangan yang jarang ditemui di perkotaan. Sampai akhirnya kurang lebih enam jam kami sampai di Pantai Santolo, namun penginapan yang kami booking berada di Pantai Sayang Heulang. Karena terlanjur masuk dan membayar karcis, kami bermain dulu di Pantai Santolo.

Aku yang belum sempat tidur dari semalam, akhirnya terhanyut alam bawah sadar dan beristirahat di sebuah saung di pinggir pantai. Ku lihat yang lain bermain pasir sambil berlari-larian. Dalam pikiran dan ragaku yang dibutuhkan saat itu hanya satu: tidur. Matahari semakin naik dan cuaca semakin panas, tentu mulai tidak nyaman untuk tidur. Mereka membangunkanku untuk kemudian kami menuju home stay dan beristirahat. 

Memasuki Pantai Sayang Heulang, sorot mataku terbelalak melihat hamparan air yang begitu luas dan biru, entah kapan terakhir kali aku menginjakkan kaki di pantai, mungkin enam atau tujuh tahun lalu, itu pun Pantai Marina Ancol dan Pantai Parangtritis yang tidak sebiru ini. Sesampainya di homestay, kami mandi dan beristirahat sebelum sore hari bermain di pantai.

Sudah puas menikmati segala lekuk elok indah yang ada di Pantai Sayang Heulang, kami bersiap untuk kembali pulang. Perjalanan kepulangan bisa dikatakan lebih ekstrem dibanding keberangkatan, salah satu faktornya adalah pengambilan rute jalan yang berbeda. Jam 12 siang kami pulang melalui jalan Pangalengan, awal mula tak ada yang berbeda sampai rintik demi rintik hujan menetes hingga akhirnya menyerbu. Masing-masing dari kami menggunakan jas hujan yang sudah dibawa sebagai bentuk antisipasi. Namun bagiku, jas hujan tak lantas melindungiku sepenuhnya dari air, pinggul ke bawah basah kuyup.

Jalan berliku, kabut tebal menutupi jalan, dan hujan disertai petir yang tidak ada hentinya mulai membuat rasa takut muncul. Di tengah perjalanan, motor Wili mogok dan dibawa ke bengkel terdekat. Mengingat sudah waktunya shalat Ashar, kami menuju mesjid terdekat sambil menunggu bengkel tersebut rampung membetulkan. Dengan keadaan basah kuyup dan gemetar, kami memasukin sebuah mesjid yang bisa dikatakan terpencil, tak ada satu orangpun di sana. Sudah lima jam terhitung sejak keberangkatan kami untuk pulang, dan langit semakin gelap.

Badanku yang entah sejak kapan menjadi cemen terhadap dingin ini mulai menggil hebat, entah ada yang menyadari atau tidak. Rest area kami yang terakhir tertuju pada suatu warung di pinggir jalan Pangalengan. Beberapa memesan kopi, menikmati gorengan hangat, sedangkan aku tidak bergairah untuk makan sama sekali. Setelah semua selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan, namun musibah kembali menghampiri kita. Ban motor Hadi bocor.

Aku dan Dani diminta untuk mencari bengkel terdekat di bawah, dengan badanku yang sudah sangat menggigil akhirnya dapat satu. Kami kembali ke atas untuk mengabari teman-teman.

Gubrak!!

Motor yang ditumpangi Dani dan aku terpeleset dan jatuh seketika. Gerombolan pemuda di seberang jalan langsung berlarian dan membantu kami. Tangan kananku sakit, sedikit perih, jas hujanku robek.
"Lu gapapa? Mana coba liat ada yang berdarah ga"
"Engga gapapa"
"Boong mana coba liat tangan lu gini"
Pertanyaan itu terlontar berkali-kali karena mungkin aku tidak terlihat baik-baik saja. Segera aku mengabari yang lain via grup WhatsApp, "guys aku sama Dani jatuh".

Tak lama dari itu, Diego, Wili, dan Delvi bergantian menghampiri kami untuk melihat keadaan dengan wajah yang panik. Delvi datang sambil membawa obat-obatan, aku diantar ke kamar mandi untuk membilas lumpur dan luka, lalu ia obati. Aku mengganti pakaian yang dikenakan dengan bawaan yang masih kering, setidaknya itu mengurangi rasa dingin karena diguyur hujan selama kurang lebih tujuh jam.

Kami beristirahat sejenak sambil menunggu hujan reda, dengan menghangatkan badan menggunakan api unggun yang dibuat. Kemudian dikabarkan bahwa jalan yang akan kami lalui di depan tertutup longsor. Waktu terus berjalan sampai akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan dan sampai di Ujungberung pukul dua belas malam. Aku kembali ke kosan Suci dan Hanna dalam keadaan hipotermia, lalu beristirahat.

Bekasi
Pertama kali dalam pengalaman hidup, aku menaiki kereta api menuju luar planet. Terima kasih untuk Robby, akamsi Bekasi yang bersedia menjadi guide. Mungkin opsi menaiki kereta api memakan lebih banyak waktu, dibandingkan dengan bis yang lebih efektif. Tapi, tiap sudut kereta yang hanya-gitu-gitu-aja tak pernah gagal membuatku terpukau. Aku menikmati perjalanan sambil sebuah laptop berwarna putih terbuka di depanku: menulis berita magang. Basreng dan pisang goreng yang ku bekal dari Gang Kujang turut menemani untuk mengisi perut.

Transit pertama di Purwakarta. Keberangkatan selanjutnya ke Cikarang masih sejam kemudian, akhirnya kami berkeliling Situ Buleud untuk menggerogoti waktu. Jaraknya lumayan jauh dari stasiun untuk kami yang berjalan kaki dan membawa-bawa barang. But it's okay. Langit mulai gelap, dan kami mulai masuk kereta berikutnya. Banyak kursi-kursi yang tidak terisi alias kereta ini masih cukup lowong. Pemandangan dari balik kaca jendela sudah gelap, hanya lampu dari tiap rumah yang terlihat.

Tiba di Cikarang, aku mengajak Robby untuk mencari Indomaret atau Alfamart terdekat untuk membeli kartu Flazz, namun nihil, di setiap supermarket tersebut sudah soldout. Akhirnya, pilihan terakhirku yaitu membeli kartu KRL. Saat masuk KRL, suasananya sangat kontradiktif dengan saat di KA lokal. Tidak ada yang mengobrol karena memang tidak diperbolehkan. Aku dan Robby kehabisan tempat duduk, akhirnya berdiri. Sampai di Stasiun Bekasi,
"Lu naek gojeknya kemana?" Tanya Robby
"Graha Mutiara, deket Tol Bekasi Timur"
"Yah kok lu ga turun di Stasiun Bekasi Timur aja tadi"
"Ga ngerti gua tar malah nyasar hehehe"

Kemudian, Gojek yang dipesankan oleh Anput akhirnya datang, mengantarku sampai depan Perumahan Graha karena ojek online tidak diperbolehkan masuk. Dari depan gerbang, aku minta Najela, saudaraku untuk menjemput. Sampai di rumah, rasa capek seketika hilang saat disambut krucil-krucil yang sedari siang sudah menunggu.

Hari berikutnya, aku dan Anput hangout ke Mcdonald's Pekayon, niat awalnya sih keliling Galaxy. Tak lama, Fiqi datang untuk gabung ngobrol-ngobrol. Setelah kenyang, Anput berinisiatif untuk datang ke tempat Robby dan Ridwan nongkrong. Masuknya perbatasan Bogor, atau memang sudah masuk Bogor? Di sana kami duduk di pinggiran jalan, ngobrol ngalor-ngidul, sampai Najela, Aqila, Raffa dan Gaffa terus-menerus menghubungi "Teteh kapan pulangnya?"

Jakarta
Halo, Ibu Kota! 
Tanggal 5 November 2021, aku, Dinda, Anput dan reporter magang yang lain diundang untuk datang ke kantor Bisnis Indonesia, di Tanah Abang. Seperti biasa, aku dijemput Anput yang Mahapengertian sampai ke depan rumah, kemudian kita ke Stasiun Bekasi. Senyuman selalu terpancar dari balik masker si perempuan yang katro ini. Kereta terus melaju sampai Anput memberi isyarat kita akan segera turun, tapi belum sampai, baru transit.

Karena lapar, kami mampir ke Lawson. Di luar dugaan, semua jajanannya enak-enak! Beranda stasiun menjadi pilihan yang tepat untuk kami duduk dan melahap semua jajanan tadi.
"Yuk, nunggu lagi di sana naik kereta selanjutnya, tar ada si Dinda di dalem", ajak Anput.
Dinda berangkat dari Bogor. Ternyata kami dan Dinda duduk gerbong yang berbeda, jadi baru bisa bersua saat keluar kereta. Saat turun di Stasiun Karet alias pemberhentian terakhir kami, aku masih sumringah karena untuk pertama kalinya naik kereta ke Jakarta. Short escape ini melahirkan imajinasi-imajinasi dalam pikiranku, sampai akhirnya dibuyarkan oleh pertanyaan Anput, "kita mau order donatnya sekarang?"

Tiba-tiba sebuah kata-kata terlontar dari mulut Dinda, "put liat di Darin keringetan banget, haduh turis"
"Ih emang panas, kalian ga kepanasan apa?"
"Panas, tapi ga sampe keringetan gitu duh turis-turis"

Taxi online yang dipesan oleh Anput akhirnya tiba dan mengantar kita ke Wisma Bisnis Indonesia, dan lagi, aku kagum dengan apa-apa saja yang diserap kacamata ini. Lingkungan kerja yang amat sangat nyaman, teman magang dari beragam universitas akhirnya memberi insight baru saat berbincang. Atasan kami dengan pengalamannya selama menjadi reporter Bisnis, bahkan Annasa yang ternyata ponakannya Bang Lay! (Teman mama dan papaku). Semua yang terjadi di hari itu menjadi kebahagiaan tersendiri untukku yang tak bisa berhenti kagum.
"Nih, koran termahal di Indonesia, Rp12.000,-" mba Feni menyodori kami koran satu per satu. Lembar demi lembar ku buka, meski tak mengerti isunya karena full tentang Ekonomi dan Bisnis, namun dalam hati "wow keren gue bisa magang di sini".

_________________________________

Bahagia. Tumpah ruah di udara, di atas bumi kita.
Hanya kadang, kita terlalu sibuk mencari, terlalu sibuk berekspektasi, terlalu sulit mencari definisi.
Sampai hilang dia, yang bernama bahagia.

Sudahkah kita bersyukur? Atas tumpah ruah segala nikmat yang selama ini masih saja sering kita gerutui?

Pantai Sayang Heulang, Garut

Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer