Menjadi Relawan di Palang Merah
Entah sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini, markas PMI Sumedang. Aku melangkahkan kaki dengan santai memasuki garasi, menuju aula di lantai dua. Masih ku ingat suasana latihan gabungan kala aku SMP. Tempat yang sama, dengan suasana dan orang - orang yang berbeda. Aku tak mengenal hampir semua dari mereka, peserta diklat PMI 2019, maka aku persilahkan waktu yang memperkenalkan kami.
Hari-hari diklat indoor ku jalani dengan suka-suka. Menikmati segala sarapan, makan siang, pun makan malam yang dikemas dalam bentuk ilmu. Sampai berjumpa dengan malam terakhir diklat indoor, aku pulang dengan kedua kakiku, berjalan dengan santai di nyaris pertengahan malam, sendiri, menyapu setiap kerlap-kerlip lampu malam yang menerangi dengan kedua bola mata. Melewati Alun-alun, menyusuri Jalan Dewi Sartika. Aku tarik napas panjang, menikmatinya.
Ada satu mantra yang terus berputar dalam setiap sel otakku, "sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain". Menjadi sebuah tamparan untukku yang sudah hidup 18 tahun di bumi, apa pernah benar-benar bermanfaat untuk orang lain? Ah, mari simpan jawabannya untukku sendiri.
Waktu terus bergulir. Perkuliahanku padat, rapat demi rapat terus menghantui, deadline memburuku, aku terhantam. Tapi meski begitu, apa yang telah aku pilih harus dipertanggungjawabkan, bukan memilih salah satu, tapi mari manage semuanya. Diklat outdoor bertabrakkan dengan jadwal kuliah, tapi aku, kami, telah menemukan titik temu yang akan melelahkan jika memang kita berniat lelah.
Hari Kamis sore seusai kelas aku pulang ke kota kelahiran, Sumedang. Jum'at sebelum fajar menyembul di antara pepohonan alias subuh, aku harus sudah ada di markas PMI, membawa serba - serbi keperluan selama diklatsar outdoor. Dan subuhku diawali dengan terburu-buru. Menjalani segala rangkaian acara dari persiapan hingga memulai perjalanan menuju Nangorak Camping Ground. Aku menerjemahkan tiap wajah teman-temanku, yang satu terlihat hampir kehabisan energi, sedang satu yang lainnya menunjukkan bahwa dia masih sangat bersemangat.
Waktu benar-benar tak bisa diajak berkompromi untuk bersabar, tiba-tiba dia sudah di ujung hari. Aku harus pergi. Kang Ipan mengantarkan aku menuju markas. Aku tinggalkan carrier dan kawan-kawannya di sana, dan mulai menuju angkot coklat - merah bertuliskan "04", menuju Bandung. Sesampainya di Kota Kembang, tetes demi tetes hujan bersatu menjadi deras, ah, sial! Aku mengeluh untuk banjirnya Jalan Manisi yang membasahi aku, pun sepatuku.
Sampai di kamar kost, aku mengerjakan makalah yang masih rampung, hingga dini hari sekiranya aku merasa puas, ku persilahkan tubuh ini beristirahat sampai subuh, setidaknya. Seusai kelas aku menyelesaikan apa-apa saja tugasku di Bandung, kembali ke kamar kost untuk mengganti kostum mengenakan baju diklat, dan kembali ke Sumedang.
Aku menghirup udara segar di Nangorak. Tak lama, aku disuruh berlari ke tenda, menyimpan semua barang bawaan, dan kembali dengan sebuah mangkok. Kami mengantre menunggu jatah makan sembari jongkok, sampai kemudian mie kuah terjun ke atas mangkok yang ku pegang. Aku makan mie kuah menggunakan tangan, karena keteledoran aku yang tidak membawa sendok. Nikmati saja.
Perut sudah aman, saatnya otak kembali diberi asupan. Kami belajar bagaimana manajemen posko tanggap bencana, dibagi beberapa tim, dan langsung dipraktikkan. Otakku masih kosong karena hari pertama aku tidak ada saat pemberian materinya, jadi saat praktik, aku memperhatikan teman-temanku dan banyak bertanya. Sampai jam makan malam, kami makan di atas daun pisang, aku menikmati makanannya, karena kurasa memang enak dibandingkan makanan saat KOMA, ospek jurusan Jurnalistik UIN Bandung.
Selesai segala rangkaian kegiatan malam hari, kami diperbolehkan tidur di tenda. Aku merasa tidak enak hati mengingat KOMA tempo lalu, maka aku tidak melepaskan perlengkapan yang aku kenakan. Aku harus siaga. Benar saja, kurang lebih jam 2 pagi, akang-akang PMI membangunkan kami.
Kami melakukan simulasi posko tanggap bencana dan pertolongan pertama, seolah-olah terjadi bencana longsor. Dua buah sarung tangan menyelimuti kedua tanganku. Simulasi yang terasa nyata, udara kala itu menembus epidermis kulitku, dingin. Kami dibagi atas beberapa tim, dan aku masuk tim pertolongan pertama. Kami berkomunikasi satu sama lain menggunakan handy talky, mencari korban bencana dengan bantuan head lamp. Sedangkan yang bertugas di posko menyiapkan data-data dan laporan, juga me-manage SDM yang turun ke lapangan.
Saat shalat subuh seorang laki-laki bertanya, "Darin engga capek bolak balik Bandung-Sumedang? Udah beres diklat hari ini ge ke Bandung lagi kan?". Belum sempat aku jawab, satu yang lainnya berkata, "euh si darin mah wonder woman, kuatan, leumpangna ge gancang pisan, urang ge lalaki eleh", dan satu lainnya menambahkan, "si darin mah emang ti baheula keneh euweuh ka cape..". Aku yang tidak diberi ruang untuk menjawab, tertawa geli dengan pelan. Ya, aku memang tidak merasa lelah, karena aku tidak berencana untuk lelah. Aku percaya aku.
Saat shalat subuh seorang laki-laki bertanya, "Darin engga capek bolak balik Bandung-Sumedang? Udah beres diklat hari ini ge ke Bandung lagi kan?". Belum sempat aku jawab, satu yang lainnya berkata, "euh si darin mah wonder woman, kuatan, leumpangna ge gancang pisan, urang ge lalaki eleh", dan satu lainnya menambahkan, "si darin mah emang ti baheula keneh euweuh ka cape..". Aku yang tidak diberi ruang untuk menjawab, tertawa geli dengan pelan. Ya, aku memang tidak merasa lelah, karena aku tidak berencana untuk lelah. Aku percaya aku.

Dan itu aku, gadis 18 tahun yang duduk paling depan dengan jaket merah dan topi rimba berwarna krem, menunjukkan ekspresi sangat senangnya!
Komentar
Posting Komentar